Selasa, 26 Januari 2016

Cahaya Mata Itu Kini Hadir

Rasanya cepat sekali 38 Week itu. Kehamilan pertama bagiku tidak seseram yang biasanya dibicarakan. Aku tetap bisa berativitas seperti biasa. Bahkan bulan pertama kehamilan harus saya jalani di lokasi KKN, sedang suami masih study di University Teknologi Malaysia untuk menyelesaikan S2 nya. Bahkan hampir selama hamil ini saya belum pernah merasakan bagaiman morning sicknees atau yang biasanya dialami oleh wanita hamil terutama di trimester pertama. Aktivitas biasa seperti siaran, bolak-balik kampus jalan kaki bahkan sudah menjadi rutinitas tiap pagi. Rasanya sangat bersyukur mendapatkan nikmat kehamilan dengan sehat.
Pada usia 36 w, saya periksa ke dr.Murtiningsih Sp.OG, dari hasil USG, cairan ketuban atau amnion dalam batas yang kurang.
Bakda Subuh tanggal 29 September.
“Mas, perutku sakit.”
“Kontraksinya sudah kuat. Jangan-Jangan masih kontraksi palsu?”
“Ngak tau, tapi kayaknya sudah mulai teratur deh, semoga masih kontaksi palsu.” Perkiraan dari dokter untuk lahiran memang masih sekitar sepuluh hari lagi. Jadi untuk persiapan secara psikologi aku belum begitu yakin untuk lahiran sekarang. Saat kontraksi kuat kupegang erat tangan suamiku, sembari dia bertanya. “Sakitnya makin kuat?” Aku mengangguk tanda mengiyakan. Suamiku segera bergegas untuk mengajak ke bidan yang selama ini mengontrol setelah memberitahu Bapak dan Ibu tentang kondisiku.
Tiba ditempat bidan aku merasa sudah tidak merasakan kontraksi dan mengajak suami untuk balik pulang, tapi suami bersiteguh “Periksa dulu, takutnya ada apa-apa.”
Bidan memintaku untuk periksa ke kamar mandi dulu apakah sudah ada darah mercampur lendir yang keluar. Dan betapa terkejutnya, ternyata sudah ada bercak darah.
“Cek pembukaan dulu ya mbak?” kata asisten bidan. Sudah buka lima. Tinggal menunggu beberapa saat lagi untuk menuju ke lengkap. Karena aku belum sarapan, suami pulang untuk mengambil sarapan dan tas yang komplit dengan segala perlengkapannya seperti kain jarit, stagen, bendong bayi dan beberapa stel baju bayi serta baju gantiku yang telah kupersiapan sejak usia kandungan delapan bulan.
Aku diajak ke ruang bersalin.
“Mbak jalan-jalan dulu saja, biar mempercepat pembukaan.” Kata asisten bidan
Padahal dalam hati aku sudah tidak tahan untuk jalan. Rasanya si janin sudah merangsek ingin segera keluar.

Fase Aktif
Aku sudah tidak tahan lagi untuk menahan agar tidak mengejan. Beberapa kali asisten bidan meminta untuk tidak mengejan dulu karena pembukaan belum lengkap. Tapi aku sudah berusaha keras untuk tidak mengejan, yang ada bayi rasanya yang mendorong sendiri. Suami yang setia disampingku beberapa kali memberikan minum teh manis, agar ada sedikit energi penyuplai karena memang belum ada sesuap makanan pun masuk. Sebenarnya suami juga mencoba menawari untuk makan dulu karena sudah dibawakan oleh Ibu dari rumah. Tapi rasanya sudah tak ingin menelan makanan, karena rasa sakit yang semakin bertambah dan bertambah.
Saya sempat berkata konyol pada asisten bidan yang saat itu sedang mempersiapkan alat-alat.
“Mbak, jangan diinduksi ya?”
“Tidak mbak, kan pembukaannya sudah cepat banget tuh, gak perlu induksi.”
Dalam hati (iya juga ya, ini sudah hampir lengkap dan sakitnya bertambah terus gini kok, ngapain masih diinduksi.. J )
“Mas, sakiiiiit.” Kataku pada Suami yang masih memegangi tanganku.
“Iya sayang, doa terus ya, berdoa semoga dilancarkan, adek lahir sehat.”
Ah, seperti ada kekuatan yang mendadak hadir saat aku mulai payah kehabisan tenaga. Setelah suami berkata begitu tiba-tiba ada sesuatu yang pecah dari dalam. Byuuuur......Yap ketuban pecah. Saat air ketuban keluar rasanya legaaa beberapa saat bisa menghirup udara tanpa rasa sakit. Namun itu hanya hitungan detik, sampai kemudian aku ingin mengejan hebat tak tertahan. Sudah tak peduli lagi untuk sekeras-kerasnya teriak (tapi teriakan takbir kok..hehe). Suami memegang tanganku supaya ada tumpuan untuk mengejan. Saat itu suami satu-satunya yang memberi motivasi.
“Doa sayang, doa terus...hirup udara dari hidung keluarkan dari mulut.” Sambil mempraktekan supaya saya mengikuti.
Dan akhirnya...
Allahu Akbar walhamdulillah...rasanya telah keluar sesuatu yang sangat besar dari rahimku. Rasanya tubuh begitu ringan dan ingin sekali mata terpejam karena lelah. Sayup-sayup yang kudengar suara suamiku memanggil-manggil “Dik Nisa, Dik Nisa...Sayang.” dan lambat laut mataku kembali terbuka. Kulihat suamiku tampak begitu khawatir yang melihatku setengah sadar.
“Doa terus sayang, doa teruuus.” Ujar suamiku. Ternyata bayiku lahir dengan tidak langsung menangis. Harus di oksigen terlebih dulu. Namun belum ada satu menit terdengar tangisnya begitu membuncah. Masyaa Allah, Itu tangisan yang paling indah yang sudah sangat dirindukan oleh Ayah Ibu nak.
“Adek mas?” kataku pada suami yang masih memegang erat tanganku .
“Iya sayang, Alhamdulillah.” Jawabnya sambil tersenyum dan membelai rambutku. Ah, suamiku kau pahlawanku hari ini.
Ananda lahir dengan berat 3,1 kg dan panjang 49 cm. Putra pertama kami, Masyaa Allah tampan sekali kau Nak. Semoga kelak engkau adalah cahaya mata di dunia dan tabungan terbaik di akhirat.

Epilog

Ananda kami beri nama Umar Amirul Umara’. Umar kami ambil dari nama Khulafaur Rasyidin yang kedua yakni Umar bin Al-Khatab. Dan Amirul Umara’ adalah gelar yang disematkan oleh Rasulullah kepada sahabat Abu Ubaidah bin Jarrah yang memiliki arti  Pemimpin Para Pemimpin. Doa dari kami semoga Ananda Umar Amirul Umara’ kelak akan meneladani kemuliaan dan keindahan akhlaq kedua sahabat Rasul itu. Seorang hamba yang hatinya tunduk pada Rabbnya namun tak silau pada dunia, ketaatan dan keistiqomahan terhadap Sunnah Rasulnya yang selalu menjadi teladan hidupnya. 

Kamis, 20 November 2014

Cinta, Indah Nian Jilbabmu




Oleh: Nissa Asy-Syifa’

“Lepaskan kerudungmu itu sekarang juga!”
“Tidak, aku muslimah, aku bersyahadat atas nama Allah dan Rasul yang diutusnya, sekali-kali aku tidak akan mengkhianati Nya meski isi senapanmu memburaikan isi  kepalaku.”
“Baiklah, rasakan ini wanita bodoh!”
DOOOR...!!!
“Allahu Akbar, Laillaha ilalloh.”
Sunyi.
Kampung Muarakole menjadi kampung neraka yang keji. Bau anyir darah manusia berbaur dengan asap dari api yang membakar rumah warga semakin menyesakkan pernafasan. Gerimis sore mulai menguyur diantara puing-puing tembok yang hancur. Api memadamkan diri setelah hujan semakin rapat menguyur. Menjelang magrib. Irama hujan berhenti layaknya iringan biola yang menambah kegelisahan di hati cinta. Tanpa kilau warna pelangi. Tanpa desiran sepoi angin yang mengeringkan gerahnya hati.
Cinta.
Masih saja mendekap hangat tubuh yang kaku itu. Dia tersenyum. Manis sekali. Meski jilbab yang dikenakan telah compang-camping dan percikan darah disana-sini.
“Kini kakak, berati adik harus berjuang hidup sendiri.” Cinta, dia tak menangis sedikitpun. Sekali lagi ia kecup pipi kakaknya yang mulai membiru dan semakin dingin.
Pagi tadi. Segelas susu hangat telah tersedia di meja.  Kakak. Telah cantik dengan jilbab putih yang terurai. Hari ini adalah hari perayaan Idul Adha. Aku berjalan beriringan disampingnya. Semua wajah-wajah kaum muslimin tampak bahagia. Ini adalah hari dimana semua umat muslim melaksanakan sholat Ied hari raya Kurban. Setelah itu akan disembelihlah kambing dan sapi yang telah dipersiapakan di dekat masjid-masjid.
Takbir pertama dikumandangkan. Semua khusyuk.
Namun, entah darimana datangnya tiba-tiba terdengar suara yang memekakkan telinga.
“Serang!”
“Bunuh!”
“Bakar!”
Suasana mencekam. Orang-orang yang memakai penutup muka hitam itu dengan parang, panah, pistol, tombak menghujani orang muslim yang tidak memegang senjata apapun. Suara jeritan, tangisan, dan darah yang memuncrat dimana-mana menjadi satu. Aku melihat tubuh kakakku diseret oleh orang yang memakai senapan dan kulihat juga tato seperti bintang di lengan kiri orang itu. Aku mencoba mengejarnya. Sesekali  tubuhku terjatuh tersandung oleh tubuh-tubuh yang bergelimpangan di tanah. Tiba-tiba sebuah tangan yang keras mencekeram leherku. Tubuhku terayun di udara. Aku sulit bernafas. Rupanya tangan itu mencekik leherku. Dan semakin keras. Hingga aku merasakan gelap dan suara-suara di sekelilingku mulai terdengar kabur.
Hujan ini rupanya telah menyadarkanku. Aku mencarinya. Diantara tumpukan mayat manusia yang bergelimpangan. Oh, disudut sana rupanya. Wajah cantik itu tak berubah adanya. Jilbab yang masih melekat  di wajah cantik kakak masih terurai begitu anggunnya.
Rintik desah angin
Syuuut... Syuut....
Menusuk sumsum bagi jiwa yang belum terlepas dari raga
Cinta?
Allahu akbar, siapakah yang masih bernyawa diantara tubuh manusia kaku ini...!
Aku terbangun oleh kehangatan matahari yang menyibak dinginnya bau anyir darah manusia pagi ini. 24 jam sudah. Apakah aku sudah mati. Ah... sepertinya tidak, aku masih hidup. Karena aku merasakan nyeri yang sangat disekujur tubuh. Terutama dihatiku, yang telah di cabik oleh srigala bermata liar bersimbol itu. Dengan segala daya aku mencoba berdiri. Mencari sisa-sisa tenaga segelas susu yang kakak sediakan kemarin pagi.
Kota ini lebih mengerikan dari cerita-cerita kastil drakula yang pernah kudengar. Semua sepi. Mati.
“Kau, Cinta?”
“Puji Tuhan, kau masih hidup anakku. Mari nak, sini nak, ikutlah denganku. Kuantarkan kau ke tempat penampungan pengungsi.”
Aku mengikuti langkah wanita berambut ikal berjuntai nan kusut itu, ke tempat yang ternyata banyak kujumpai pengungsi kekejaman perang ini.
“Istirahatlah, kau bisa kami rawat bersama pengungsi disini. Lihat lukamu, akan kami cuci dahulu agar segera kering.”
“Tak perlu, luka di kulit dan tulang ini hanya goresan kecil. Luka yang aku derita tak kan sembuh oleh balutan kain kasa dan obat merah. Tapi ijinkan aku untuk ikut serta dalam barisan belakang mujahidin pertahanan untuk sekedar merawat luka tembakan para mujahidin.”
“Tentu, anakku, tentu.”
“Siapa kau?”
“Masyarakat sipil yang ikut mengungsi.”
“Siapa yang kau bela?”
“Aku melindungi keluargaku.”
“Kau muslim?”
“Ya, aku muslim.” Jawabnya dengan lirih.
“Tidakkah kau ingat, siapa yang membela agama Allah maka Allah akan memenangkan.”
“Tapi kau tak mengerti, apabila aku mengaku muslim maka seluruh adik-adikku akan di rebus hidup-hidup.
“Ishadu bi ana muslimun ya Ukhty!”
“Diamlah kalian, serigala hitam berhasil mengetahui persembunyian kita!” Teriak perempuan yang tadi mengenakan kerudung hitam kumal kemudian buru-buru di lepas.
“Kenapa kau lepas jilbabmu wahai Ummi.”
“Aku tak ingin anak-anakku akan di tombak menjadi satu apabila aku mengaku seorang muslimah.”
DOOR...DOOR..DOOOR.....!!!
“Cinta, segera lepas jilbab dan himarmu. Kau akan di bunuh nanti.”
“Kenapa aku harus melepas!”
“Karena mereka hanya akan membunuh muslimah yang memakai kerudung.”
“Wallahi, Sungguh Allah dan Rasul Nya lebih aku takuti dari sekedar ujung senapan mereka.”
“Tapi cinta, kau akan mati.”
“Betapa indahnya Asiyah yang mati berserah diri atas nama Allah Azza Wajalla, Sumayah yang gagah berani dan syurga adalah lebih ia banggakan dari kehidupan dunia. Kita muslimah ya Ummi.”
BRAK!!
“Pintu di dobrak dengan paksa.”
“Siapa diantara kalian seorang muslimah!”
“Ya cinta, cepat bukalah jibabmu. Sungguh kau mati dalam usia muda apabila kau masih mengenakan kerudung.”
“Tidak akan, demi Allah yang semesta dalam gengaman-Nya aku akan menghadapi mereka.”
“Tidak cinta.”
Suara erangan serigala hitam semakin mengeretak.
“Siapa diantara kalian muslimah!”
“Wahai musuh Allah. Aku adalah muslimah. Dalam aliran darahku mengalir kalimah syahadat Laillahaillah Muhammadar rasulullah. Kau tak akan merampas kesucian kami.”
“Hahaha....baik, kau tak akan ku bunuh, tapi buka kerudung yang menutup tubuhmu itu, maka kau kuanggap sebagai warga sipil dan tidak akan kami bunuh.”
“Seadainya kalian menyiksaku dengan tusukan seribu belati, sungguh itu lebih muslimah senangi dari sekedar mengakui pemberian hidup darimu wahai musuh Allah.”
“Sombong sekali rupanya kau bocah kecil!”
“Aku adalah pembela agama Allah wahai syetan!”
Dooor....!
Door......!
Dor........!
Tiga pelor menembus tepat di kepala dan dada cinta. Dara memuncrat, mengubah putih jilbabnya menjadi merah darah.
Subhanallah, adakah kekuatan yang Allah berikan kepada cinta.
Allahu akbar...
Allahu akbar...
Allahu akbar...
Laa Illaha illallah....
Tubuh muda berusia 16 tahun itu rebah diantara kaki-kaki jahanam bersepatu baja hitam.
Dan langit berwarna merah saga bermuram, gemerutuk gigi-gigi alam mengutuk cengkraman syetan yang masih bercokol di bumi suci. Cinta, muda usiamu, namun kau adalah sebutir permata diantara buih lautan. ***

Sabtu, 15 November 2014

Wahai Suamiku



Suatu hari sambil menikmati istirahat, setelah penat seharian beraktivitas seperti biasa kami mengobrol apapun yang bisa diobrolin. Suami juga hanya beberapa hari di rumah, maka waktu kami pun sangat singkat untuk berbicara dari hati ke hati. Meskipun suami tampak lelah namun sebisa mungkin ia mencoba membuka mata untuk menemaniku yang sebenarnya juga  sudah sangat lelah.
“Mas?”
“Ya, Dik.”
“Kalau menikah ternyata seindah ini, kenapa masih banyak yang mereka mampu untuk menikah tapi lebih memilih pacaran ya?”
“Karena di dalamnya ada tanggung jawab yang besar dik, sedang pacaran adalah mereka yang tidak berani bertanggung jawab.” Jawab suamiku sambil memejamkan mata.
Selang beberapa menit setelah ia berkata begitu,kulihat ia telah tertidur pulas. Kupandangi wajah suamiku.
Ia seorang pemuda yang 6 bulan lalu datang di hadapan Ayah untuk meminang puterinya.
Ia seorang pemuda yang pada tanggal 8 Syawal telah mengambil suatu perjanjian agung atas suatu tanggung jawab  yang besar.
Ia seorang pemuda yang dibesarkan dalam keluarga yang penuh kasih sayang, namun belum mampu ia membalas jasa  Ayah Bundanya namun ia telah berani mengambil seorang puteri menjadi amanahnya.
Ia seorang suami yang dengan penuh kasih sayang menerima segala kekurangan isterinya, kemanjaan isterinya , dan segala keluh kesah isterinya.
Ia seorang suami yang rela lelah raganya agar sejahtera amanah yang ia tanggung.
Ia seorang suami yang tersenyum penuh keikhlasan meski hanya segelas teh hangat yang tersaji di meja.
Ia seorang suami yang tiada lelah membimbing .
Ya Allah, Syukur hati ini telah Kau takdirkan ia untukku
Tabahkan hatinya, kuatkan raganya
Pertemukan keluarga kami kembali di Syurga-Mu kelak.
Kamis, 13 Nopember 2014
Untukmu Suamiku

Kamis, 11 September 2014

Bismillah, Aku Mendampingimu....






Jam di ruang tengah menunjukkan pukul 20.32 WIB. Kenapa detik-detiknya semakin jelas terdengar ya. Oh..ternyata bukan. Ternyata itu denyut jantungku yang mulai tidak beraturan. Bagaimana tidak, malam ini Bapak akan kedatangan seorang tamu yang baru pertama kali bertandang ke rumah.
Siapa sih dia? Kenal juga tidak. Seorang rijal berperawakan tidak terlalu tinggi, berkulit agak gelap dan berkacamata minus. Nadhor. Ya aku menjalani proses nadhor dengan seorang pemuda yang CV nya sudah kubaca beberapa minggu yang lalu. Dalam hati, kok tidak sepadan dengan namanya yang cukup berat ya. Karena di CV tidak dilampirkan foto si pemilik CV.  Irfan Bahiuddin. Namanya seperti pemain sepak bola yang cukup digandrungi cewe-cewe karena kegantengannya itu (Itu sih Irfan Bachdim kali neng..hehe).
Bapak banyak bertanya tentangnya sebelum waktu diserahkan kepadaku. Saat sekilas melihat, kok tidak ada istimewanya sama sekali sih ikhwan yang satu ini. Namun, kok tiba-tiba ada desir aneh yang menyergap. Falling in love???..... Ah, jelas tidak lah. Saya baru mengenalnya. Itupun hanya berdasar CV yang disodorkan. Bagaimana mungkin. Aku menghela nafas panjang untuk menata ruang pikirku yang mulai di masuki oleh lorong labirin yang penuh teka-teki.
“Ya Allah, jika ini adalah rasa cinta seperti virus merah jambu, singkirkan virus itu ya Allah. Karena aku tak mau terjangkit virus yang melumpuhkan ibadah dan imanku.”
Aku tertunduk lesu seketika saat ikhwan tersebut menjawab beberapa pertanyaanku tentang komitmen niat baiknya. Benarkah secepat ini aku akan meraih suatu peristiwa besar ‘mitsaqon gholidho,’  separuh dien.
Tetapi baik dia atau kamu belum saling mengenal? Ah...Biarlah. Biar Allah saja yang  mengenalkan kami melalui kemantapan hati. Ujian demi ujian kami lalui setelah nadhor yang sangat mendebarkan tersebut. Alhamdulillah saat itu juga bulan romadhon, maka kegalauan hati senantiasa tersingkap oleh amalan bulan romadhon yang sangat menggoda hadiahnya dari Allah.
Kamu menikah? Serius? Lihat, baru juga kamu liburan semester 6. Boro-boro judul skripsi, magang untuk syarat pengajuan judul saja belum dibuat. Bagaimana nanti jika kuliahmu tidak kelar-kelar karena menikah, bagaimana nanti kamu mengurus suami, bagaimana jika ada permasalahan sedang calon suamimu itu juga akan ke luar negeri untuk melanjutkan study S2 di negeri Jiran. Bagaimana..bagaimana dan..bagaimana.
Beruntun pertanyaan mendramatisir menghampiri ruang pikirku lagi. Hingga saat sepertiga malam tiba, dengan masih memakai mukena aku tulis di catatan harianku, menikah adalah suatu ibadah, ibadah adalah suatu kebaikan, dan kebaikan akan bermuara pada keberkahan. Bismillah, aku menikah.
Hanya bermodalkan mengenal melalui CV dan keyakinan akan komitmennya ketika nadhor, aku menyakinkan diri untuk menerima pinangan ikhwan lulusan Teknik Fisika ITB angkatan 2008 tersebut. Itu lebih dari cukup bagiku tanpa harus mempertimbangkan bagaimana sosok dan perawakannya. Biar menjadi urusan Allah yang memberikan kesyukuran akan segala kelebihan dan kekurangan pada hati kami saat kami telah benar-benar membangun mahligai rumah tangga. Ketsiqohan dalam hati, ia adalah jodoh baik untuk agamaku dan untuk kebaikan dunia dan akhiratku.
Hari H telah ditentukan, semua serba cepat. Sekitar 3 minggu setelah lamaran aku harus mempersiapkan segalanya. Selain disibukkan dengan padatnya jadwal siaran radio, mengajar murid les privat, terlebih hari iedul fitri yang banyak acara yang mendadak baik dari organisasi maupun kegiatan luar kampus. Ini benar-benar menantang adrenalin. Keuangan yang mepet sehingga aku harus berusaha keras mengembalikan ingatan pengalaman selama 2 periode menjadi manager keuangan di suatu lembaga keilmiahan fakultas untuk mampu mengelola keuangan limit. Hingga H-1 pernikahan, aku masih berkeliaran di kota solo untuk berburu keperluan dan mengambil gaun pengantin  yang sudah dimasukkan ke penjahit dua minggu sebelumnya (dengan agak sedikit memaksa sang penjahit...*hehe_Punten mbak Rovi).
Malam hari aku sempat drop karena kecapekan. Dengan kantung mata yang agak membesar dan kehitaman aku mencoba mengembalikan kesegaran wajah memakai air hangat. Yap...esok hari akan datang seorang pangeran menjemput. Karena kondisi badan yang masih menyisakan kecapekan, ketika mendengar kumandang adzan subuh aku baru bangun. Gamis ungu muda, jilbab ungu muda berhias kain renda bunga yang sangat sederhana aku kenakan dengan rasa berdebar.
Hari Senin, 4 Agustus 2014 Pukul 09.00 WIB sighot nikah dibacakan. 
Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kau dustakan..?
Menakjubkan....
Hanya dengan beberapa kata saja, statusku kini telah berubah. Kini aku menjadi seorang ‘isteri’.
Seketika keharuan menyergap relung hati. Menangis? Sudah tak perlu ditanya lagi karena dari awal mau pengucapan ijab qobulpun aku sudah berleleran airmata hingga tisu yang kupegang mungkin bisa diperas. Ketika si pangeran mengucapkan ‘qobiltu’ tangisku semakin pecah  (tapi tidak sampai mengeluarkan suara lho ya...hehe...)
Selesai akad nikah sebelum ia berada di tamu putra aku sempat disandingkan dulu dengan si pangeran di ruangan yang di situ hanya disaksikan oleh tamu puteri sedang tamu putra diluar. Remasan tangan pertama oleh seorang pemuda yang baru beberapa menit lalu sah menjadi imamku. Aku balas remasan tangannya dengan cubitan sekuat tenaga..(waduh...istrinya anarkis). Siapa sih kamu? Pemuda yang datang ke rumah malam-malam bakda isya’ sambil membawa brownis pandan sarikaya, yang nadhor dipenuhi dengan pertanyaan dan jawaban yang tidak ada bau romantisnya ‘blas’ sama sekali. Dan kini kau menjadi suamiku. Hmmmm....Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan wahai diri?
Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Qs. Ar. Ruum (30) : 21).
Kini hari demi hari kulalui bersamamu. Semakin membuatku takjub akan kekuasaan Allah. Begitu mudah dan indah jika manusia selalu berada di aturan Allah. Semakin hari semakin cinta itu tumbuh bak taman Keukenhof. Kelebihan dan kekurangan dari masing-masing muncul menambah keimanan dalam hati kami. Meski sementara si pangeran setelah 1 bulan pernikahan pergi ke negeri menara Petronas untuk study S2 di Universitas Teknologi Malaysia, sedang aku sendiri harus sebulan tinggal di kota hujan Bogor untuk melaksanakan magang mahasiswa. Jarak yang terpisah semakin mempererat hubungan kami. Pesan yang selalu diingatkan oleh si pangeran, “Adik, terkadang ikatan cinta itu perlu dididik dengan jarak, agar ia mampu terus tumbuh dan segar.” (Emt...Pangeran, so sweet banget sih..hihi).
Menikah karena ibadah, setiap ibadah pasti indah dan akan berbuah syurga bagi setiap hamba yang beriman, bersabar dan berpikir.
Kini
Kita mulakan membangun cinta
Bersiap dengan pondasi takwa
Mensyukuri setiap derap cerita indah penuh cinta
Meski sulit datang membayang, tetapi aku percaya Allah hadir diantara kita
Mententramkan setiap rajutan langkah
Aku percayakan ikatan ini untuk kau jaga
Maka, percayakan pula padaku untuk kujaga kehormatan keluarga kita
Percayakan putra-putri kita untuk kujaga dan kudidik
Percayakan setiap nafkah harta yang kau berikan untuk kukelola dengan baik
Inilah untukmu wahai imamku,
Bismillah aku mendampingimu...


Sentul, Kota Hujan Bogor
9 September 2014
Catatan Pengantin Baru