Rasanya
cepat sekali 38 Week itu. Kehamilan pertama bagiku tidak seseram yang biasanya
dibicarakan. Aku tetap bisa berativitas seperti biasa. Bahkan bulan pertama
kehamilan harus saya jalani di lokasi KKN, sedang suami masih study di University
Teknologi Malaysia untuk menyelesaikan S2 nya. Bahkan hampir selama hamil ini
saya belum pernah merasakan bagaiman morning sicknees atau yang biasanya
dialami oleh wanita hamil terutama di trimester pertama. Aktivitas biasa
seperti siaran, bolak-balik kampus jalan kaki bahkan sudah menjadi rutinitas
tiap pagi. Rasanya sangat bersyukur mendapatkan nikmat kehamilan dengan sehat.
Pada
usia 36 w, saya periksa ke dr.Murtiningsih Sp.OG, dari hasil USG, cairan
ketuban atau amnion dalam batas yang kurang.
Bakda
Subuh tanggal 29 September.
“Mas,
perutku sakit.”
“Kontraksinya
sudah kuat. Jangan-Jangan masih kontraksi palsu?”
“Ngak
tau, tapi kayaknya sudah mulai teratur deh, semoga masih kontaksi palsu.”
Perkiraan dari dokter untuk lahiran memang masih sekitar sepuluh hari lagi.
Jadi untuk persiapan secara psikologi aku belum begitu yakin untuk lahiran
sekarang. Saat kontraksi kuat kupegang erat tangan suamiku, sembari dia
bertanya. “Sakitnya makin kuat?” Aku mengangguk tanda mengiyakan. Suamiku segera
bergegas untuk mengajak ke bidan yang selama ini mengontrol setelah memberitahu
Bapak dan Ibu tentang kondisiku.
Tiba
ditempat bidan aku merasa sudah tidak merasakan kontraksi dan mengajak suami
untuk balik pulang, tapi suami bersiteguh “Periksa dulu, takutnya ada apa-apa.”
Bidan
memintaku untuk periksa ke kamar mandi dulu apakah sudah ada darah mercampur
lendir yang keluar. Dan betapa terkejutnya, ternyata sudah ada bercak darah.
“Cek
pembukaan dulu ya mbak?” kata asisten bidan. Sudah buka lima. Tinggal menunggu
beberapa saat lagi untuk menuju ke lengkap. Karena aku belum sarapan, suami
pulang untuk mengambil sarapan dan tas yang komplit dengan segala
perlengkapannya seperti kain jarit, stagen, bendong bayi dan beberapa stel baju
bayi serta baju gantiku yang telah kupersiapan sejak usia kandungan delapan
bulan.
Aku
diajak ke ruang bersalin.
“Mbak
jalan-jalan dulu saja, biar mempercepat pembukaan.” Kata asisten bidan
Padahal
dalam hati aku sudah tidak tahan untuk jalan. Rasanya si janin sudah merangsek
ingin segera keluar.
Fase
Aktif
Aku
sudah tidak tahan lagi untuk menahan agar tidak mengejan. Beberapa kali asisten
bidan meminta untuk tidak mengejan dulu karena pembukaan belum lengkap. Tapi
aku sudah berusaha keras untuk tidak mengejan, yang ada bayi rasanya yang
mendorong sendiri. Suami yang setia disampingku beberapa kali memberikan minum
teh manis, agar ada sedikit energi penyuplai karena memang belum ada sesuap
makanan pun masuk. Sebenarnya suami juga mencoba menawari untuk makan dulu
karena sudah dibawakan oleh Ibu dari rumah. Tapi rasanya sudah tak ingin
menelan makanan, karena rasa sakit yang semakin bertambah dan bertambah.
Saya
sempat berkata konyol pada asisten bidan yang saat itu sedang mempersiapkan
alat-alat.
“Mbak,
jangan diinduksi ya?”
“Tidak
mbak, kan pembukaannya sudah cepat banget tuh, gak perlu induksi.”
Dalam
hati (iya juga ya, ini sudah hampir lengkap dan sakitnya bertambah terus gini
kok, ngapain masih diinduksi.. J )
“Mas,
sakiiiiit.” Kataku pada Suami yang masih memegangi tanganku.
“Iya
sayang, doa terus ya, berdoa semoga dilancarkan, adek lahir sehat.”
Ah,
seperti ada kekuatan yang mendadak hadir saat aku mulai payah kehabisan tenaga.
Setelah suami berkata begitu tiba-tiba ada sesuatu yang pecah dari dalam.
Byuuuur......Yap ketuban pecah. Saat air ketuban keluar rasanya legaaa beberapa
saat bisa menghirup udara tanpa rasa sakit. Namun itu hanya hitungan detik,
sampai kemudian aku ingin mengejan hebat tak tertahan. Sudah tak peduli lagi
untuk sekeras-kerasnya teriak (tapi teriakan takbir kok..hehe). Suami memegang
tanganku supaya ada tumpuan untuk mengejan. Saat itu suami satu-satunya yang
memberi motivasi.
“Doa
sayang, doa terus...hirup udara dari hidung keluarkan dari mulut.” Sambil
mempraktekan supaya saya mengikuti.
Dan
akhirnya...
Allahu
Akbar walhamdulillah...rasanya telah keluar sesuatu yang sangat besar dari
rahimku. Rasanya tubuh begitu ringan dan ingin sekali mata terpejam karena
lelah. Sayup-sayup yang kudengar suara suamiku memanggil-manggil “Dik Nisa, Dik
Nisa...Sayang.” dan lambat laut mataku kembali terbuka. Kulihat suamiku tampak
begitu khawatir yang melihatku setengah sadar.
“Doa
terus sayang, doa teruuus.” Ujar suamiku. Ternyata bayiku lahir dengan tidak
langsung menangis. Harus di oksigen terlebih dulu. Namun belum ada satu menit
terdengar tangisnya begitu membuncah. Masyaa Allah, Itu tangisan yang paling
indah yang sudah sangat dirindukan oleh Ayah Ibu nak.
“Adek
mas?” kataku pada suami yang masih memegang erat tanganku .
“Iya
sayang, Alhamdulillah.” Jawabnya sambil tersenyum dan membelai rambutku. Ah,
suamiku kau pahlawanku hari ini.
Ananda
lahir dengan berat 3,1 kg dan panjang 49 cm. Putra pertama kami, Masyaa Allah
tampan sekali kau Nak. Semoga kelak engkau adalah cahaya mata di dunia dan
tabungan terbaik di akhirat.
Epilog
Ananda
kami beri nama Umar Amirul Umara’. Umar kami ambil dari nama Khulafaur Rasyidin
yang kedua yakni Umar bin Al-Khatab. Dan Amirul Umara’ adalah gelar yang
disematkan oleh Rasulullah kepada sahabat Abu Ubaidah bin Jarrah yang memiliki
arti Pemimpin Para Pemimpin. Doa dari
kami semoga Ananda Umar Amirul Umara’ kelak akan meneladani kemuliaan dan
keindahan akhlaq kedua sahabat Rasul itu. Seorang hamba yang hatinya tunduk
pada Rabbnya namun tak silau pada dunia, ketaatan dan keistiqomahan terhadap
Sunnah Rasulnya yang selalu menjadi teladan hidupnya.